RAMADLAN dan KETIDAKJUJURAN PILRES

Agus Wahid, Penulis
“Ahlan wa sahlan bi hudluurikum yaa Ramadlaan”. Sebuah ucapan bahagia pada bulan suci Ramadlan yang ditunggu jutaan manusia muslim-muslimat beriman di seantero dunia, termasuk di Indonesia ini. Ditunggu karena Allah akan limpahkan karunia sangat terbatas bagi yang menjalankan puasa dan mengisi bulan suci dengan beragam ibadah. Nilainya sangat fantastik yang tak bisa dikuantifikasi. Itulah penghormatan Allah kepada seluruh insan beriman dalam menjalankan perintah-Nya (shaum Ramadhan).
Kita perlu mencatat, satu aspek penting dari shaum Ramadlan adalah membangun karakter kejujuran. Karakter ini menjadi penentu apakah ia berpuasa atau tidak. Hanya Allah dan dirinya yang mengetahui masih berpuasa atau batal. Bukan rahasia, dirinya – di hadapan orang lain – menyatakan berpuasa, padahal dirinya telah menyantap sesuatu atau meneguk minuman tanpa diketahui orang lain. Karena tak diketahui, dirinya bisa menyatakan berpuasa. Berbohong. Inilah masalah kejujuran dan ketidakjujuran menjadi kata kunci.
Kita perlu merenung, bagaimana merefleksikan kejujuran dalam konteks muamalah, yakni kegiatan politik pasca pemilihan presiden (pilpres)? Sebuah harapan, para penyelenggara pemilu dan atau pilpres yang sebagian besarnya kalangan muslim mampu merembeskan prinsip kejujuran dalam persoalan pilpres yang kini sedang memasuki perhitungan secara riil (real count). Ada momentum yang sangat tepat. Ketika jauh sebelumnya melakukan ketidakjujuran, kini spirit Ramadlan diharapkan mampu menyadarkan praktik politik jahat itu: untuk kembali pada spirit kejujuran dan kebenaran.
Sekali lagi, Ramadhan dijadikan momentum ketakwaan dalam ragam upaya menghitung hasil suara dalam koridor kejujuran. Ramadhan dijadikan momentum untuk bertaubat atas tindakan yang jauh sebelumnya demikian hingar-bingar dalam manipulas yang terstruktur, sistemik dan massif. Pertaubatan itu diwujudkan dengan spirit penghitungan suara dengan jujur. Jika itu terjadi, subhanallah. Itulah hidayah agung bagi para penyelenggara pemilu dan pilpres.
Wa bil-khusus, jika Jokowi yang konon muslim, dia akan mengambil momentum Ramadhan sebagai muhasabah (introspeksi dan melakukan koreksi total) atas carut-marut pilpres, bahkan persoalan kebijakan sebelumnya yang juga amburadul. Jika Jokowi – sekali lagi, jika dia muslim dan tak lagi hati sesungguhnya bernama baptisan “Herbertus” – dia akan menyatakan “stop” pemilu/pilpres curang. Maka, akan muncullah kejujuran bagi KPU-BAWASLU dan seluruh elemen lainnya selaku penyelenggara pemilu (MK dan aparat keamanan). Implikasinya, proses penghitungan riil hasil pemilu akan lancar, tanpa interupsi. Hak angket yang kini lagi digulirkan pun pada akhirnya akan terhenti dengan sendirinya. Bahkan, rakyat pengunjuk rasa pun akan menghentikan aksinya. Itulah makna siginifikan dari refleksi berpuasa Ramadhan yang – secara substantif – mampu menumbuhkan kejujuran secara implementatif. Akan terefleksi dalam tataran muamalah, termasuk dalam hal politik (pilpres).
Persoalannya, apakah di antara tujuan perintah berpuasa Ramadhan bisa tergapai? Inilah yang menjadi problem mendasar. Sebagian masyarakat, berpuasa hanya dapatkan lapar dan haus. Berarti, tujuan substantif itu tak didapatkannya. Dalam hal ini, bukanlah tak mungkin, kegagalan menggapai tujuan itu juga terjadi pada para penyelenggara pilpres, termasuk Jokowi. Maka, boleh jadi, berpuasa jalan terus. Tapi, memperkuat manipulasi data juga jalan terus. Sama sekali tak membekas. Karakter kejujuran lewat.
Sebuah pertanyaan mendasar, akankah tetap terjadi reaksi massif atas kelakuan KPU-BAWASLU dan elemen lain selaku penyelenggara pemilu (pilpres) itu? Potensi besarnya, reaksi itu tak akan berubah. Di wilayah perlemen (penggunaan hak angket). Bagaimana dengan gerakan ekstra parlementer yang tentu menghadapi terik matahari dan atau guyuran hujan?
Setidaknya, ada tiga corak basis massa. Pertama, yang nonmuslim ideolog akan tetap terpanggil menjalankan aksinya. Demi tergapainya hak politik yang berlandaskan kejujuran. Kedua, kaum shaimin-shaimat – sebagian – akan menunda partisipasi aksinya ke lapangan karena takut batal akibat dahaga dan lapar. Tapi – sebagai corak ketiga – sebagian lagi tetap terpanggil untuk berjuang. Bulan Ramadhan tidak dijadikan penghalang untuk turun karena misinya jelas: mencegah kemungkaran TSM dan kedzaliman penguasa. Tapi, mungkinkah?
Ada dua landasan historis yang bisa dijadikan inspirasi keistiqomahan perjuangan. Pertama, pekik kemerdekaan negeri kita pada 17 Agustus 1945 yang bertepatan pada Jumat, 9 Ramadhan 1364. Proklamasi kemerdekaan ini bisa menjadi inspirasi para wakil rakyat di parlemen untuk – secara heroik – membahanakan suara hak angket sampai gol. Ada tipologi kondisi yang relatif sama. Yaitu, pekik kemerdekaan di hari berpuasa Ramadhan relatif tak berpanas-panasan. Maka, di parlemen malah jauh dari sengatan matahari. Karenanya, kalangan parlemen tak ada alasan untuk mempersoalkan Ramadhan. Harusnya jauh lebih heroik menggolkan penggunaan hak angket.
Kedua, landasan historis zaman Rasulullah: Perang Badar, terjadi pada pada 17 Ramadhan 2 Hijriah. Sebagai perang, maka kondisi perjuangannya adalah fisik dan mental. Di wilayah padang pasar, matahari tentu jauh lebih terik dibanding di Jakarta atau negeri ini pada umumnya. Namun, sejarah mencatat, para pasukan mujahidin saat Perang Badar, terik matahari di bulan suci Ramadhan tidak menjadikan surut dalam perjuangannya. Demi tegaknya risalah Allah.
Mengambil catatan sejarah Rasulullah itu, maka kaum shaimin-shaimat tak perlu menyurutkan perjuangannya dalam menuntut hak kejujuran dan kebenaran dalam pilpres. Jika semasa Perang Badar terkerahkan fisik dan mental dalam menghadapi keganasan lawan, di wilayah Senayan dan atau lainnya tidak harus dengan pengerahan tenaga secara all out seperti biasanya: orasi dan berdesakan menghadapi kekuatan anti huru-hara, yang semuanya bertenaga ekstra. Dalam hal ini kiranya perlu dicerna strategi unjuk rasanya, Yaitu, datang dan menghamparkan sajadah atau lainnya, lalu duduk sembari berdzikir, bershalawat, dan atau baca al-qur`an.
Unjuk rasa yang super damai itu, apalagi diikuti ratusan ribu atau jutaan orang, maka keberhasilan ada di depan mata. Kita perlu mencatat, model unjuk rasa itu – insya Allah – akan dihadiri para malaikat atas izin-Nya. Kekuatan spritualistik ini sungguh dahsyat untuk menggedor “langit”. Dengan dzikir, bershalawat, membaca al-Qur`an yang tak terhitung bilangannya, akan muncul kekuatan yang di luar dugaan. Mirip yang dihadapi atau dirasakan para pejuang Hammas di Palestina dalam menghadapi kejahatan Zionis Israel. Yang perlu digaris-bawahi, unjuk rasanya haruslah terus-menerus. Mengacu pada peristiwa Mei 1998, kebertahanan unjuk rasa beberapa hari menghasilkan perjuangan itu. Karenanya, spirit historis Mei 1998 layak dijadikan acuan.
Insya Allah – di satu sisi – KPU-BAWASLU-aparat keamanan akan tersentuh melihat pemandangan unjuk rasa yang penuh damai itu. Implikasinya, para penyelenggara itu akan terketuk hatinya untuk kembali pada prinsip kejujuran. Sisi lain lagi, sang rezim pun berpotensi akan “lempar handuk”. Pertanda menyerah. Mungkikah? Jawabnya, bukan mendasarkan kalkulasi lahiriah. Tapi, kalkulasi metafisik yang memang digerakkan para hadirin dari anasir yang tak terlihat manusia biasa. Itulah malaikat yang tak terbatas jumlahnya.
Akhir kata, Ramadhan yang penuh berkah ini bisa dijadikan momentum perjuangan dalam menghadapi kecongkakan penyelenggara pilpres dan atau pemilu pada umumnya, termasuk rezim berkuasa saat ini. Janganlah Ramadhan dijadikan penghalang untuk perjuangannya. Momentum ini sungguh merupakan rahmat (karunia) yang luar biasa nilainya bagi anak bangsa dan negeri ini, saat ini. Sangat boleh jadi, inilah saatnya bangsa ini melihat dan merasakan rahmat dari sang Maha Kasih Sayang-Nya.
Namun, jika rezim tetap menjalankan suara “iblis”, maka Allah akan tunjukkan proses yang justru lebih menyakitkan dan mempermalukan. The ending of die hard. Sebuah skenario Allah yang bukan tak mungkin terjadi. Tinggal pilih opsi di antara pahit dan manis. Let`s see the history.
Bekasi, 10 Maret 2024
Penulis: analis politik