PILPRES dan KRISIS KEMISKINAN

Agus Wahid, Penulis
Sekitar tahun 2001, ada permintaan Harian Jawa Pos untuk menanggapi tulisan Anies Baswedan (Otonomi Daerah dan Peningkatan Demokrasi). Saat itu sepertinya Mas Anies sedang menempuh studi doktoralnya di bidang ilmu politik di University of Nothern Illionis, AS. Catatannya tepat. Sesuai spirit demokratisasi yang sedang berhembus kencang pasca reformasi. Namun, ada satu sisi yang tidak sempat dilihat. Yaitu, selama kemiskinan masih eksis, maka akan menjadi kendala serius dalam mencapai hasil demokrasi yang berkualitas. Itulah yang kuulas saat itu, meski hanya dalam perspektif sosial-ekonomi. Insya Allah, analisis kali ini masih sangat relevan reflektif untuk memotret topografi politik saat ini, khususnya masalah pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Dan memang, pasca reformasi berjalan seperempat abad lebih dan beberapa kali terselenggara pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres), terlihat deviasi yang cukup jauh antara cita-cita otonomi daerah dan demokratisasi itu. Kemiskinan akut itu menjadi faktor krusial. Timbul pertanyaan pesimistik, akankah terjadi reformasi total dalam sistem pilkada dan pilpres itu? Perlu berapa puluh tahun untuk mewujudkan cita-cita pilkada dan pilpres yang sesuai standar prinsip demokrasi yang jujur, transparan, bebas intimidasi dan penyalahgunaan kekuasaan?
Membaca panorama pilkada dan pilpres yang telah berlangsung beberapa kali, kita mencatat, beragam varian kemiskinan dieksploitase, jauh sebelum, jelang bahkan pasca perhelatan. Yang perlu kita rinci ada beberapa jenis kemiskinan akut yang melanda negeri Wakanda ini. Pertama, kemiskinan finansial (prasejahtera). Jumlah kalangan prasejahtera demikian besar. Menurut data BPS tahun 2023, jumlahnya mencapai 25,90 juta orang (9,36%).
Kalangan tersebut rentan dengan iming-iming dalam beragam bentuk. Makan-minum susu gratis yang digenjot sekitar dua bulan sebelum pilpres, bagi-bagi sembako, sampai menaburkan uang meski hanya Rp 30.000 hingga Rp 150.000 atau lebih dikit jelang hari “H”. Masyarakat miskin tak pernah mempertanyakan secara kritis dari manakah dananya, padahal dari program bantuan sosial (bansos). Uang negara dan atau rakyat sebesar Rp 497 trilyun itu terhempas atas nama paslon tertentu. Eksploitase itu cukup ampuh. Data menunjukkan, sebesar 69,3 % penerima bansos dan barang “haram” itu berubah sikap politiknya: memilih paslon boneka rezim.
Dari kasus money politics atau apapun jenis barangnya, memperkuat kesimpulan: selagi kemiskinan masih menyelimutinya, maka tak akan tercapai cita-cita ideal pilpres dan atau pilkada. Kondisi prasejahtera ini diperparah dengan tingkat pendidikannya yang rendah. BPS 2022 mencatat, jumlahnya mencapai 59,88%. Kualitas sumberdaya manusia yang tergolong rendah ini sulit untuk diajak berpikir kritis tentang program masa depan untuk kepentingan bangsa dan negeri ini.
Haruskah kita persalahkan sikap politik mereka? Tidak bijak menyalahkan. Justru yang harus kita soroti justru masalah krisis kemiskinan lain. Yaitu – sebagai hal kedua – kemiskinan moral kekuasaan. Dalam hal ini, saat memasuki perhelatan pilpres dan atau pilkada, justru sang penguasa menyalahgunaan kekuasaannya. Terkait langsung dengan pembagian uang tunai, sembako dan lainnya itu terjadi karena penguasa – dengan sadar – menyalahgunakan kewenangannya.
Dalam kaitan pilpres 2024 ini, data bicara: bansos harusnya berakhir pembagiannya pada Juni 2023. Ternyata, digelontorkan pada Januari dan Februari 2024. Bahkan, karena kurang dana bansosnya, rezim mendesak dikeluarkannya 5% bagi seluruh kementerian teknis. Penyaluran bansos jelang hari pelaksanaan pilpres dan mendesakan 5% itu melanggar UU APBN 2023. Tapi, pelanggaran itu tetap dilakukan. Itulah kemiskinan moral sang penguasa.
Hanya itu? No. Kita saksikan, krisis moral penguasa juga kita saksikan pada penggunaan aparatur negara (TNI, POLRI dan ASN), bahkan penyelenggara pilpres. Eksploitase kekuasaan ini menggerakkan tindakan terstruktur dalam hal tindakan intimidasi, keberpihakan, pengarahan dan mobilisasi massa. Semuanya untuk kepentingan paslon tertentu. Karenanya, hilanglah netralitas itu. Lebih tragis lagi, krisis (kemiskinan) moral kekuasaan – dalam konteks pilpres 2024 – kita saksikan intervensi hukum pada proses pencalonan paslon, padahal menyalahi UU Politik No. 07 Tahun 2017.
Sebagai turunan eksploitase kekuasaan – sebagai hal ketiga – terjadi krisis atau kemiskinan moral pada penyelenggara pilpres. Aparatur keamanan tak lagi pegang teguh pada sapta marga atau bhayangkara, sehingga demikian sigap dalam menghajar rakyat secara fisik, termasuk intimidasi mental dan lainnya. Sementara, penyelenggara pilpres (KPU dan BAWASLU) – karena miskin moral – pun demikian rela melakukan rekayasa sistem tabulasi suara seperti SIREKAP yang penuh tendensius dan sangat tidak rasional. BAWASLU yang seharusnya menjadi lembaga pengawas, justru menjadi mitra konspirator. BAWASLU tampak tak menjalankan fungsinya sebagaimana amanat UU. Bahkan, karena krisis moral menerpa anasir KPU-BAWASLU, mereka seperti tak menggubris keberatan para pihak yang dirugikan. Tak disadari, arogansi kedua lembaga menjadi penggerak reaksi sosial-politik yang massif-ekstensif bahkan sampai pada suhu politik yang kian mengklimaks.
Mengacu pada krisis (kemiskinan) moral pada MK yang telah melakukan abuse of power dalam proses hukum pencapresan, maka terjadi distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap lembaga MK. Apa yang terjadi pada sidang sengketa pada pilpres 2019, maka pada pilpres 2024 ini, rakyat sudah alergi lebih dulu untuk membawa potensi sengketanya. Inilah – sekali lagi akibat kemiskinan moral pada sejumlah hakim MK – mendorong rakyat lebih mendesak penggunaan hak angket, yang jelas-jelas konstitusional.
Anehnya, konstitusionalitas hak angket justru dihadang oleh sejumlah pakar hukum tata-negara. Lagi-lagi – sebagai hal keempat – tipe pakar ini juga rusak secara moral bahkan integritas. Moralitas dan integritasnya tergadaikan: demi menjaga kepentingan pihak yang dibelanya. Karena itu, narasi yang terus dibangun selalu paradoks dengan nurani kebenaran, kejujuran dan keadilan. Ia terus menampik persoalan norma dan etika yang sebenarnya lebih luhur dari ketentuan hukum.
Namun, keterkikisan (makin miskinnya) nurani sang pakar hukum mengakibatkan penggunaan hak angket terus diganjal. Tak disadari, alibi yang dibangun sang pakar ini menggerakkan emosi rakyat yang demikian membesar. Bagai tsunami yang siap menerjang apapun yang ada di hadapannya. Sang pakar hukum dan siapapun dari elemen rezim yang miskin moral ini harus bertanggung jawab kehancuran itu. Persoalannya, apakah ia siap bertanggung jawab, atau justru lari dan masa bodoh?
Serupa tapi tak sama – sebagai hal kelima – panorama pilpres 2024, kita saksikan krisis (kemiskinan) moral pada kaum agamawan. Dalam terminologi agama, kita kenal istilah ulama su’. Prototip ulama seperti ini sarat dengan perilaku duniawi centris. Pragmatis. Hal ini mengakibatkan kondisi umat terombang-ambing dalam menentukan sikap idealnya. Di satu sisi, sejalan dengan kultur sosial kita, kaum ulama dinilai sebagai patron. Harusnya lebih menjunjung tinggi nilai-nilai idealistik. Di sisi lain, ulama su’ demikian progresfi memaksakan kehendaknya untuk mengikuti garis pragmatisme. Terjadi keterombang-ambingan pada masyarakat karena ulah ulama yang miskin moral (akhlak).
Dan terakhir – sebagai hal ketujuh – krisis moral yang melanda politisi senior. Secara definitif, politik sesungguhnya menjalankan peran mulia. Namun, pragmatisme yang melandanya mengakibatkan peran mulia itu bergesar. Kepentingan sempitnya lebih dominan. Pergesaran ini sejatinya merusak moralitas citra politisi. Kerusakan moralnya inilah yang mendorong dirinya selalu menghitung apa dan mana yang lebih menguntungkan, dalam kaitan kekuasaan (fasilitas), atau perlindungan hukum dan atau lainnya. Perlu kita catat, kerusakan dan atau kemiskinan moral kaum politisi – dalam sistem demokrasi – mengakibatkan kehancuran sistem kenegaraan dan akhirnya bangsanya.
The last but not least – sebagai hal kedelapan – masuknya kaum intelektual “penyesat” dalam wilayah pilpres. Kita tahu, sistem pilkada dan pilpres langsung menjadi lahan subur keterlibatan proaktif dari unsur kaum intektual “lacur” yang bermain di wilayah survey. Secara metodologis, survey bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Namun, politicking yang mengendap pada para aktor lembaga-lembaga survey berusaha lebih memenuhi selera pemberi order (klien): “asal mereka senang”. Inilah problem serius moralitas para aktor surveyor berbayar.
Tidak sampai di titik itu. Tapi, ia berusaha merancang questioner survey yang memanipulasi fakta. Dan manipulasi ini diorkestrasi sedemikian rapih dan konspiratif. Dalam kaitan pilpres, mereka berusaha membangun opini sesat. Dan quick count (QC) menjadi strategi memaksakan kemenangan salah satu paslon selaku klien. Langkah lembaga-lembaga survey bayaran ini bukan hanya menyesatkan masyarakat luas, tapi mendorong gerakan emosional konfliktual massa. Itulah potret para surveyor bayaran yang miskin moral, nurani dan etika. Layakkah mereka dibiarkan? Dengan implikasinya yang merusak jutaan orang, mereka tak layak dibiarkan hidup. Sangat sesuai dengan andil kejahatannya terhadap kepentingan anak bangsa dan negara. Sorry to say, ia atau mereka layak dikebumikan secara biadab.
Cirebon, 5 Februari 2024
Penulis: analis politik