Kepemimpinan Jokowi: Catatan Kritis Introspektif

Oleh Agus Wahid
Tidaklah aneh jika kita dengar atau baca sejumlah catatan kritis dari para the outsiders. Yaitu, kalangan yang selama sembilan tahun terakhir ini berada di luar kekuasaan. Bisa dituding sebagai pihak yang “belum bisa move on”. Tapi, memang tak bisa dipungkiri, catatan kritisnya berangkat dari realitas kegagalan kepemimpinannya untuk berbagai sektor. “Sulit dicari satu saja bukti keberhasilan Jokowi. Memang, gak ada bukti. Gak ada,” tegas Rocky Gerung dalam satu dialog yang diselenggarakan Karni Ilyas Channel, beberapa waktu lalu.
Namun, menjadi sesuatu yang sangat berarti (meaningful) ketika di antara kader PDIP menyampaikan sejumlah catatan pedas. Di antara mereka yang pernah jalan-jalan ke berbagai daerah–secara terbuka–menegaskan, pembangunan infrastruktur semasa pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan hasil yang berbanding lurus dengan cita-cita. Catatan kritis ini tidak sejalan dengan konsep pembangunan infrastruktur yang dirancang sebagai konektivitas pembangunan ekonomi.
Kita tahu, harapan konsentrasi pembangunan infrastruktur–pertama–untuk meningkatkan kelancaran arus barang dari sentra-sentra produk ke pusat-pusat pasar akan menumbuhkan pertumbuhan ekonomi mikro masyarakat dan daerah setempat. Kedua, diharapkan akan terjadi akselerasi perdagangan antardaerah. Ketiga, akan terjadi titik kurva harga yang wajar antardaerah yang kini masih timpang. Sejalan dengan obsesi derap pembangunannya ke seluruh daerah, maka–secara teoritik–harusnya akan terjadi pertumbuhan ekonomi itu di seluruh daerah. Inilah kerangka pemikiran yang menggerakkan pembangunan infrastruktur secara obsesif di Papua dan lintas Pulau Sumatera.
Namun, di lapangan tercatat–menurut kader PDIP itu–sejumlah pembangunan infrastruktur gagal mengkoneksikan arus komoditas dari sentra-sentra produksi ke sentra-sentra pasar. Memang, ada penggunaan sarana jalan dari sejumlah unsur manusia, sebagai pengguna public transport ataupun pengguna jalan secara privat. Penggunaan mereka sebagai unsur manusia tentu tidak salah. Ada durasi perjalanan yang dipersingkat secara signifikan. Dan itu memang bikin happy. Masyarakat Jakarta dan sekitar yang mau menggunakan Trans Sumatera sungguh menikmati fasilitas infrastruktur itu.
Tapi, the main goal (tujuan utama) pembangunan sejumlah infrastruktur sesungguhnya lebih diharapkan untuk memigrasikan komoditas pangan dan barang lainnya ke sentra-sentra pasar. Harapannya akan terjadi proses peningkatan pendapatan masyarakat petani dan sejumlah pihak yang berkegiatan di sektor pertanian. Inilah konsepsi pembangunan jalan tol sebagai bagian dari strategi pemberdayaan ekonomi daerah. Dalam perspektif politik, keberdayaan ekonomi daerah menjadi faktor penting untuk mempertahankan entitas NKRI yang utuh, sekaligus ikhtiar menjaga kedaulatan negara. Inilah konsepsi nasionalisme yang layak dipertahankan secara berkelanjutan.
Pertanyaannya, mengapa harus membangun jalan tol, bukan jalan arteri? Bisa dijawab secara simpel. Jalan tol berbayar tinggi. Bisa diharapkan return of investment atau RoI-nya Benarkah? Berapa lama untuk mendapatkan capital gain dari megaproyek infrastruktur (jalan tol) itu? Bahkan, secara sosial pun dapat dipertanyakan lebih jauh, seberapa besar manfaat sosial dari jalan tol itu? Mengapa harus membiarkan ketidakadilan dalam penggunaan sarana jalan (infrastruktur) itu?
Di sisi lain, kita jumpai data pembangunan infrastruktur (termasuk jalan tol) menjadi sektor yang telah menggelembungkan utang luar negeri (ULN) secara hiperbolik. Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi ULN Pemerintah hingga Juli 2023 mencapai Rp 7.855,53 triliun, naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014 dengan rasio 37,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan ULN sebesar itu –mengutip catatan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira–Indonesia diperkirakan belum bisa melunasi utangnya hingga 2050.
Beban ekonomi nasional yang lebih dari seperempat abad itu, di sisi lain misi besar pemberdayaan ekonomi masyarakat dan daerah yang juga gagal, maka catatan PDIP terhadap Jokowi sungguh konstruktif maknanya. Muncul pertanyaan mendasar, mengapa baru kali ini PDIP mengkritik kegagalan Jokowi dalam memimpin negeri ini, padahal kegagalannya tak terhitung jumlahnya dan sudah diketahui jauh sebelumnya? Tak bisa disangkal, publik pun akhirnya menilai kritikannya tak lepas dari kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Untuk mendegradasikan salah satu pasangan capres-cawapres.
Kita tahu, dalam pilpres 2024 ini, Jokowi berseberangan dengan PDIP yang menjagokan pasangan Ganjar Pranowo–Machfud MD. Bukan sekadar menjagokan Prabowo dan Gibran (anaknya), tapi menggerakkan politik cawe-cawe secara masif-ekstensif dengan melibatkan anasir TNI-POLRI-ASN bahkan RT-RW. Semua cawe-cawenya untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Intervensi istana diingatkan PDIP tak boleh lagi diulangi seperti yang terjadi pada pilpres 2019. Seperti yang disampaikan mantan Panglima, Jend (purn), Andika Perkasa, tekanan istana itu riil, bukan hoaks. Dirinya sebagai Kasad saat itu ditekan untuk mengikuti perintah Istana. Karena itu cawe-cawe yang siap diberlakukan pada pilpres 2024 bukanlah isapan jempol. Arahnya jelas: harus memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Karena itu, kita perlu mencatat, kritik PDIP terhadap kegagalan Jokowi itu proporsional. Faktual. Memang corelated. Kritikan yang terkategori negative campaign itu sah saja dalam kontestasi pilpres. Kita tak perlu terjebak pada hiruk-pikuk kontestasi itu, tapi lihatlah sejumlah substansi yang layak kita garis-bawahi. Yaitu, adanya pesan moral tentang pemerintahan ke depan tak boleh terjadi lagi terbius oleh money trap yang beratas nama pembangunan infrastruktur atau lainnya, apalagi sarat dengan muatan kepentingan politik-ideologis negara lain. Juga, bermakna early warning system (wanti-wanti sedini mungkin) untuk menghindari persekongkolan picik di balik ULN atas nama G to G. Dan satu hal yang jauh lebih esensial, dalam menghadapi ULN yang “fantastik” itu, diperlukan sosok pemimpin yang berintegritas (jujur, tidak korup), amanah, cerdas dan punya kemampuan berfikir kreatif dalam mencari solusi. Prasyarat pemimpin seperti ini berpotensi besar untuk mempercepat pengembalian ULN. Tak perlu menunggu seperempat abad lagi.
Sekali lagi, kita perlu menghormati kritik terbuka PDIP terkait kegagalan pembangunan infrastruktur. Kritik dari lingkungan “internal” ini sungguh konstruktif. Hal ini sejalan dengan kecenderungan psikologis yang mengabaikan kritik the outsiders, dari komponen rakyat apalagi kaum politisi yang bukan dari partai-partai pengusung. Maka, kritik dari internal sejatinya merupakan otokritik, yang harusnya direspons secara proporsional, bukan tetap mengabaikannya.
Ketika ia tetap mengabaikan catatan kritis itu, maka ia memang tergolong sang pemimpin ndableg. Kura-kura dalam perahu (pura-pura tak tahu). Dumeh kuwasa serta menganggap kecil kepada siapa pun. Makna esensialnya, jangankan peduli kepada rakyat, kepada ketua umum partai yang membesarkannya pun dianggap “semut”, bahkan debu. Sebuah sikap yang menunjukkan arogansi laten. Sangat tidak pas bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.
Karena itu, model pemimpin yang ndableg itu tak layak dihadirkan kembali. Malah akan membawa negeri dan bangsa ini tersungkur lebih dalam. Maka, wajib hukumnya–minimal secara moral–untuk menghindari tipe pemimpin arogan, kebijakan yang senantiasa tak berpihak kepada wong cilik (dlu`afa), ndableg dan picik. Pasti tidak amanah dan cenderung eksploitatif untuk kepentingan diri dan atau gengnya. Sikap tegas ini untuk mencegah terjadinya nestapa yang telah kita rasakan selama sembilan tahun terakhir. Sebuah nestapa secara ekonomi, politik, hukum bahkan hak-hak asasi lainnya.
Bandung, 16 November 2023 Penulis: Analis politik