HAJI MABRUR & TANTANGAN KEJAYAAN BANGSA

“Apa oleh-oleh terbaik saat pulang haji? Apakah kurma, zam-zam, abaya, gamis atau sajadah?”. Tentu saja itu semua oleh-oleh yang ditunggu di tanah air oleh sanak keluarga dan handai tolan. Dan memang, itu pula yang dibawa oleh ribuan jamaah haji setiap tahun.
Memang, tidak ada yang salah pada kebiasaan itu. Tetapi haji, pasti lebih dahsyat daripada semua itu; pasti lebih spektakuler untuk tujuan yang juga sangat spektakuler.
Apa yang Allah Ingin kita Dapatkan?
Logikanya, apa mungkin Allah hanya ingin kita merasakan panasnya tanah Arab saat haji, karena panas juga ada di tanah air dan atau di berbagai tempat lain. Atau Allah ingin kita menyaksikan gunung batu, air zam-zam, hewan unta, kurma, dan jutaan manusia, karena semua itu pun ada di tempat-tempat lain. Sudah semestinya memang, pasti Allah ingin kita menyaksikan sesuatu yang lebih dahsyat dari itu semua.
Dari sisi ekonomi, betapa pengeluaran Umat Islam untuk Haji tidak sedikit. Jika haji tahun 2024, yang berjumlah 240 ribu jamaah dikali dengan Rp.75 juta, maka akan sama dengan Rp.18 triliun. Fantastis. Tentu saja tidak masalah dengan besaran tersebut, karena haji adalah wajib. Tetapi, apakah biaya tersebut kita lihat sebagai spending (pengeluaran biasa) atau investment (yang harus ada return) ? Maka rahasia apa di balik biaya besar tersebut.
Di Haramain (Makkah Madinah) sendiri, hiruk pikuk pelaksanaan haji men-triger semua hal untuk bergerak. Semua kegiatan ekonomi dan industri didorong dan berlari untuk menyukseskan haji; mulai dari makanan, transportasi, tekstil, perhotelan, traveling, komunikasi dan pendidikan; semuanya bergerak, bahkan dengan skala dunia.
Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan kegembiraan dan optimismenya yang luar biasa dalam pelaksanaan haji. Beliau berangkat dari Kota Madinah menuju Makkah, Arofah, Muzdalifah dan Mina, dan diikuti 10 ribu orang jamaahnya dan membagikan 100 ekor hewan qurbannya sendiri kepada masyarakat. Dahsyat. Bayangkan itu dilakukan 1400 tahun yang lalu.
Kita mundur ke belakang, melihat Legenda haji miskin di Ranah Minang di akhir abad 18, mereka melakukan perubahan besar di ranah minang adalah setelah mereka menunaikan haji. KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU), organisasi keagamaan dan sosial yang menjadi sangat besar dan memberikan sumbangsih sangat besar bagi Indonesia, didirikan oleh beliau, setelah beliau pulang haji. KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyyah, juga setelah beliau pulang haji. HAMKA menulis ‘Di bawah Lindungan Ka’bah’, setelah beliau pulang haji.
Orang-orang hebat tersebut mendapatkan energi besar pada saat mereka menunaikan haji. Sepulang haji, mereka membuat terobosan-terobosan bagi perubahan dan perbaikan bangsanya.
Outcome Mabrur: perbaikan Makanan dan Komunikasi
Yang dikatakan oleh Rasulullah SAW jelas bahwa “Haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali Surga” (HR. Ahmad). Tetapi ketika ditanya oleh Sahabat, “Apa tanda haji mabrur?”, Rasulullah menjawab, “memberi makan dan memperbaiki perkataan”. Di sini kuncinya, “makanan dan komunikasi”. Bahwa setelah haji maka para jamaah harus memperbaiki kedua hal itu, sampai kelak menjelang wafat mereka.
Makanan dan komunikasi. Sebegitu gamblangnya Rasulullah menekankan kedua hal itu. Maasya Allah, memang kedua hal itulah yang membentuk peradaban manusia. Tidak ada kesinambungan kehidupan tanpa makanan, dan tidak ada peradaban yang akan berkembang tanpa komunikasi. Jika Kissinger mengatakan, “kuasai makanan, kau akan kuasai dunia”, maka Alfin Tofler mengatakan, “kuasai informasi, kau akan kuasai dunia”. Makanan dan komunikasi adalah kunci kehidupan manusia dan pembentuk peradaban manusia.
Dari tanda mabrur yang disampaikan Rasulullah SAW itu kita mengambil hikmah, bahwa Rahasia haji adalah pada perbaikan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Haji tidak bisa berdiri sendiri, sebagai ibadah yang hanya bersifat spiritual dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, organisasi, perusahaan, bisnis, negara dan bangsa; tidak bisa. Haji harus menjadi bagian integral, menjadi spirit dan menjadi api yang menyalakan kemajuan kehidupan dan peradaban manusia.
Dengan demikian, biaya haji bukanlah pengeluaran konsumtif atau spending yang sesaat yang menghabiskan; tidak. Pengeluaran haji adalah investment yang dahsyat, yang mendorong terciptanya kesinambungan kehidupan dan kemajuan peradaban manusia.
Penutup
Maka, pertanyaan yang harus dijawab oleh para jamaah haji, dan juga oleh pemerintah Indonesia dan negara-negara lain, sebagai penyelenggara perjalanan haji adalah, seberapa maksimal return kemajuan kesinambungan kehidupan dan peradaban sudah diperoleh dari investasi haji, yang dilaksanakan setiap tahun. Seberapa besar investasi haji menghasilkan kejayaan bagi masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia?
Dan pertanyaan itu semakin penting untuk dijawab oleh masyarakat Indonesia, karena sebagai negara yang mayoritas Muslim, ternyata Indonesia masih menjadi negara yang lamban dan tertinggal, dengan perkapita yang hanya 4.700 dolar (2023); 3 kali lebih kecil dibanding Malaysia, 20 kali lebih kecil dibanding Singapura. Demikian juga 46 Negara yang mayoritas penduduknya Muslim di dunia, ternyata masih menjadi negara yang tertinggal dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika, serta beberapa negara di Asia Timur yang telah maju.
Dengan keyakinan bahwa Risalah Haji adalah perhelatan yang dahsyat bagi kehidupan, maka jika ada gap antara besarnya biaya dibandingkan dengan hasilnya (outcome-nya), bisa dipastikan bahwa pelaksanaannya lah yang harus terus ditinjau dan diperbaiki. Pastinya, hasil tidak akan terlalu jauh dari prosesnya. Begitulah kita harus bertanya, sejauh mana pelaksanaan haji kita itu sudah proper, sudah sesuai sunnah dan sudah sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Allah, sehingga haji dapat membentuk manusia yang hebat, kehidupan yang progressif dan peradaban yang gemilang. Wallahu a’lam bisshawwab.