SU`UL KHATIMAH POLITIK: PANORAMA PKS

Sangat ditakutkan. Itulah akhir hidup buruk. Karenanya, siapapun berikhtiar sungguh-sungguh untuk istikamah. Agar, tak sampai terjadi akhir hidup yang buruk. Karena pasti celaka. Itulah pandangan keagamaan, terutama Islam. Yang menarik untuk kita catat, panggung politik pun berlaku ketentuan catatan akhir yang buruk itu, meski beda warna risikonya. Itukah yang dipertontonkan PKS saat ini?
Kiranya, tidaklah berlebihan catatan su`ul khatimah politik bagi PKS itu. Bagaimana tidak? Sejak berdirinya, PKS menjadi satu-satunya partai Islam yang tergolong istikamah memperjuangkan nilai-nilai moralitas, bersendikan agama dalam arti luas, termasuk di dalamnya masalah nasionalisme. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, PKS tak tergoda rayuan rezim Jokowi. Landasannya jelas: tak mau ternoda oleh zig-zag politik rezim yang menghalalkan segala cara dan telah mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi Pertiwi ini. Untuk berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Integritas PKS menjadi daya dorong masyarakat luas negeri ini: benar-benar mendambakan dan berharap banyak untuk misi nubuwwah-ilahiyah dalam bingkai kepentingan nasional. Rakyat menggantungkan harapan besar sampai terwujudnya perubahan substansial di berbagai lini kenegaraan dan kerakyatan. Itulah sebabnya, dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024 lalu, PKS demikian all out berjuang bersama tokoh potensial yang mengumandangkan perubahan mendasar itu: Anies Baswedan.
Sangat disayangkan, hanya karena kemenangan yang tertunda dan sesungguhnya tahu persis kejahatan politik yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam pilpres lalu, PKS tampak luntur ketika diiming-imingi “jatah” kekuasaan. Atas nama kimia politik yang telah terjalin lama selama ini, rayuan pemenang secara TSM itu direspons secara positif dan penuh hormat.
Memang, belum dilakukan berbagi “kue” kekuasaan itu. Tapi, ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk Jakarta dan bahkan sejumlah daerah lainnya, PKS membuka pintu lebar-lebar kepada “gerombolan” partai antiperubahan. Demikian mesra bersanding dengan keluarga pembangun politik dinasti dan penghancur negeri ini.
Politik memang dinamis. Tapi, haruskah menyingkirkan moralitas yang diperjuangkan selama ini? Barangkali publik masih mentolelir ketika menyaksikan kelakuan partai-partai sekuler yang ada. Tapi, para simpatisan PKS tak bisa terima saat menyaksikan partai idamannya “ketawa-ketiwi” bersama partai-partai “kolonialis” yang jelas-jelas berandil besar terhadap proses dan realitas kehancuran negeri ini. Tidak hanya pranata hukum dan ekonomi, tapi sumber daya alam dan manusia menjadi ladang penghancurannya secara sistemik. Apakah PKS tidak melihat topografi kehancuran dan penghancuran itu? Non-sense.
Kini, “kebutaan” PKS terpancar dari kebijakannya yang tak mau mengusung Anies hanya karena kadernya tak disandingkan sebagai calon wakil gubernurnya, padahal letak persoalannya pada sikap partai koalisi lainnya yang keberatan.
Yang perlu kita persoalkan lebih lanjut, bukan sekadar perubahan sikap politiknya yang tak mau mengusungnya Anies, tapi PKS tentu tahu agenda politik ke depan yang sedang dimainkan oligarki dan kompradornya: keluarga istana saat ini dan partai-partai dari Koalisi Indonesia Maju (KIM). Agendanya juga bukan sekadar membangun diktatorisme mayoritas, tapi PKS tahu persis aktor negara (state actor) aseng yang terus mengincar negeri ini. Di manakah sikap nasionalis itu?
Tak bisa dipungkiri– untuk saat ini–hanya Anies sebagai figur yang siap menghadapi persekongkolan elit global dan oligarki yang terus melancarkan agenda marginalisasi kaum Pribumi di Tanah Air ini. Sebuah renungan, mengapa PKS menafikan konspirasi itu semua? Mengapa PKS menjadi seirama dengan elitis oligarki dan globalis yang sama-sama berusaha membegal Anies dalam pilkada Jakarta ini? Tak bisa dipungkiri, persekongkolan itu mengarah ke pencaplokan negeri ini, perlahan tapi pasti. Karenanya, sulit dicerna secara akal sehat. Memprihatinkan.
Sisi lain, apakah PKS memang tak pandai berterima kasih, padahal faktor Anies telah memberikan kontribusi pada peningkatan perolehan suaranya? Sebagai gambaran konkret, pada pemilu legislatif 2024, faktor Anies yang didukungnya telah mendongkrak suara PKS menjadi 8,42% (53 kursi) DPR RI dari pemilu sebelumnya (2019): 8,21% (50 kursi). Meski kecil persentase kenaikannya (0,21%), tapi cukup berarti jumlah kursinya (3 kursi). Sementara, untuk DPRD Provinsi Jakarta, faktor Anies memberikan andil 19,04% (18 kursi), naik 3,95% (3 kursi) dari pemilu 2019.
Habis manis sepah dibuang. Itulah pepatah klasik kita. Namun, publik akan mencatat, pendzaliman politik itu akan menuai balasan. Tidak tertutup kemungkinan, pemilu legislatif 2024 menjadi puncak emas politik PKS. Tapi, akibat pendzaliman itu, grafik capaian PKS mendatang akan turun. Dan itu akan diperlihatkan pada pilkada Jakarta, khususnya. Duet bersama kader kumpulan partai “kolonialis” – setidaknya, partai-partai antirakyat, apalagi bersama keluarga rezim saat ini–akan menjadi pintu masuk untuk melampiaskan kekecewaannya.
Hal ini tak lepas dari ketidakpercayaan publik yang tak lagi memandang PKS sebagai partai moralis, apalagi pejuang perubahan. PKS dinilai sama saja dengan partai-partai sekuler lainnya. Inilah detik-detik citra PKS, yang–dalam diksi Islam–tergolong su`ul khatimah. Na`udzu billaah. Investasi moralitas yang dibangun sejak berdirinya harus lumer, bahkan segera menguap. Yang menyedihkan, berbagai komponen rakyat tak lagi punya kanal penyerap aspirasi rakyat yang selama ini menjadi partai andalan pengibar panji-panji moralitas dan perubahan yang didambakan.
Jakarta, 11 Agustus 2024 Penulis: Agus Wahid, analis politik