MENGHADANG ANIES

Posisi tertinggi. Itulah hasil sejumlah survei kenamaan bagi Anies Baswedan menuju Gubernur Jakarta 2024-2029, dibanding sejumlah tokoh yang beredar untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta. Haruskah bangga dan senyum tenang bagi Anies dan para “pejuang” pro Anies? Tidak. Justru, perolehan hasil survei menjadi “santapan” empuk bagi sejumah lawan politiknya untuk menghadang Anies. Hampir sama persis perolehan hasil obyektif Anies saat pemilihan presiden (pilpres) lalu.
Dengan posisi Anies yang sesungguhnya selalu teratas–sekali lagi, menurut hasil survei obyektif–hal ini mendorong lawan politiknya melakukan desain politik yang sangat moral hazard. Di antaranya–tanpa malu–harus melakukan cawe-cawe, dari mulai pendataan calon pemilih, sistem komputasi sistemik yang algoritmatik, pengerahan aparat keamanan dan ASN semasa proses pemilihan, penyahgunaan dana bantuan sosial (bansor) sampai ke pendayagunaan Mahkamah Konstitusi (MK). Benar-benar paket komplet-plet. Tanpa politik kotor, disadari dan diyakini Anies-Muhaimin (AMIN) menjadi sang pemenang pilpres 2024 lalu.
Berkaca dari panorama pilpres lalu, ada misi besar dalam pemilihan kepala daerah (gubernur DKJ) 2024 ini. Dengan cara apapun, Anies tak boleh menang dalam kontestasi pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta mendatang. Sebuah renungan, masih sebegitu kuatkah cawe-cawe rezim Jokowi? Dapat diprediksi, kondisi pilgub Jakarta, termasuk juga pilgub di Sumatera Utara tak akan se- powerful semasa Gibran saat mengikuti pilpres.
Kelengseran Jokowi per 20 Oktober mendatang akan berimplikasi pada cengkeraman Jokowi yang akan longgar. TNI-Polri-ASN akan melihat pengaruh Prabowo yang menang pilpres secara rudapaksa itu. Namun demikian, ada “makhluk” lain yang tak pernah lekang dan bergeser dari panggung kontestasi pilpres dan pilkada di Tanah Air ini. Itulah keberadaan oligarki yang tak pernah rela membiarkan Anies kembali ke Gedung Balai Kota–Kebon Sirih (Jakarta).
Gerombolan oligarki ini tak akan pernah lupa rontoknya kepentingan oligarki dalam proyek reklamasi pantai Jakarta Utara. Suara yang beredar, para bohir reklamasi yang di dalamnya terdapat konsorsium dari Negeri Tirai Bambu, angka sebesar Rp 50 triliun itu lenyap, padahal iklannya di Negeri Tiongkok itu sudah demikian gencar.
Berangkat dari kegagalan megaproyek reklamasi, para bandit bisnis itu akan all out menghadang Anies. Hal ini didasari kerajaan bisnis yang terus dikembangkan. Tidak hanya industrial estate dalam bentuk penambangan di berbagai daerah, tapi juga megaproyek perluasan wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) II, yang kawasannya meliputi pantai utara Jakarta sampai ke pantai utara wilayah Banten.
Megraproyek seluas 2.650 hektar dan telah digelontorkan sekitar Rp 20 triliun tentu tak akan rela dihempaskan lagi. Meski calon pemimpin Provinsi Banten berpotensi bisa “dinego”, namun Anies–sesuai pengalaman lalu semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta dan karakteristik personalnya–tak akan rela membiarkan sejengkal tanah pun “dicaplok” para bandit bisnis dari Sedayu Group dan Salim Group.
Dengan investasi sebesar itu–meski penuh drama rudapaksa dan ketidakadilan–para bandit bisnis itu akan mengerahkan seluruh kekuatan politiknya untuk terus menghadang Anies Baswedan. Yang paling utama dihembuskan adalah membangun opini sesat dan penuh khianat. Kalangan buzzerRp akan dikerahkan kembali secara masif. Lembaga-lembaga “surPAY” yang notabene profesional akan berubah menjadi “budak” atau “cecunguk” yang hilang integritas dan profesionalitasnya.
Selanjutnya, akan dimainkanlah rancang-bangun data pemilih siluman: mendadak punya KTP Jakarta, padahal tak bisa berbahasa nasional Indonesia. Maklum, sangat singkek. Hanya bisa berbahasa China. Dalam kaitan ini, seluruh jajaran penyelenggara pemilu (unsur KPU Jakarta, Panwasda), para pengurus RT-RW bahkan lebih tinggi akan “panen raya” karena berhamburan uang yang tak berseri. Bisa bentuk Yen, atau pun Dolar. Sesuai “klas” yang akan menerima.
Pendek kata, kalangan oligarki akan kembali all out menjegal Anies. Bagi mereka, kepentingannya tidak hanya Jakarta. Tapi, mengamankan wilayah yang bersentuhan langsung dengan Jakarta. Bekasi, Tangerang, Depok dan Bogor (Bodetabek) menjadi daerah penyangga Jakarta yang tak boleh lepas dari genggaman oligarki-Jokowi. Itulah sebabnya, terbit Perpres No. 60 Tahun 2020 yang cakupan wilayahnya diperluas menjadi Jabodetabekjur (plus Cianjur) karena terdapat Kawasan pemukiman baru: Meikarta.
Yang menarik untuk ditelaah, di balik Perpres itu terlihat desain politik super rakusnya: Prabowo harus mau serahkan kekuasaannya kepada sang “bocil” Gibran selaku wakil presiden. Jabodetabekjur ada dalam kekuasaan wapres Gibran. Dengan sketsa politik seperti ini posisi Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta akan menjadi penghalang besar. Karena itu, kembali ke adagium awal: Anies nggak boleh menang. Sebuah adagium politik versi Jokowi yang bertitik temu dengan kepentingan oligarki itu.
Di sisi lain, adagium itu juga tak lepas dari wilayah kepulauan yang telah dibeli dan dikuasainya. Menurut catatan BRIN, terdapat 200 pulau berstatus bukan lagi milik negara. Notabene sudah berpindah tangan ke para bandit bisnis itu (aseng).
Akhir kata, apapun caranya, cengkeraman oligarki dan Jokowi akan dimainkan sejahat mungkin. Forget it (fatsun politik, moralitas dan nasionalisme). Emang gue pikirin. Dengan pemikiran dan sikap ini maka pilkada Jakarta ini akan memaksa Anies Baswedan harus gagal lagi, seperti yang dialami dalam pilpres 2024.
Lalu, apakah para nasionalis sejati di Tanah Air ini akan membiarkan arogansi kaum kolonialistik itu? Ironis jika diam seribu bahasa apalagi larut (menjadi bagian proaktif) dalam irama permainan politik super jahat itu itu. Harus kita tanamkan, pilkada Jakarta 2024 bukan kepentingan Anies Baswedan semata, tapi harga diri bangsa dan kedaulatan negara RI yang harus dipertaruhkan.
So, we have to fight the colonialist extremely, yang–sejak 2014–mereka telah menampakkan wajahnya dalam diri oligarki aseng. Sang komprador Jokowi menjadi aktor penting yang memperlicin dan memfasilitasi gerakan masif kaum aseng kolonialis itu, dari sisi hukum, politik dan bahkan secara ideologis (komunis).
Wahai Prabowo. Dirimu konon sang patriotis sejati. NKRI haram terambil sejengkal tanah pun. Tunjukkan jatidirimu untuk menghadapi daya agresi mereka. Dulu, sebelum pilpres, memohon kepada rakyat untuk diberi kesempatan. Kini, kesempatan sudah di tanganmu. Tunjukkan! Bukan menjadi pecundang, apalagi hipokrator.
Tampillah sebagai sosok pemimpin yang fasih dalam berdemokrasi dan menegakkan prinsip-prinsip ideal demokrasi itu. Juga, tunjukkan tekad kuat dalam menjaga kedaulatan negara, bukan sekadar slogan atau visi pertama Indonesia Emas 2045. Melalui Anies Baswedan–insya Allah–akan terbangun sinergi bernegara yang berdigdaya. Maka, sebagai pemimpin yang negarawan haruslah mampu melindungi warga negaranya dari kekuatan zalim yang terus mengganggu langkah politik Anies. Itulah sosok pemimpin yang menghargai HAM sebagai fitrah yang dimiliki setiap insan hidup.
Bekasi, 18 Juli 2024 Penulis: Analis Politik