MENGARAHKAN BANDUL SEJARAH INDONESIA

Menuju Era Penjajahan Lagi?
Sejarah memang tidak bisa diramal, tapi bisa diciptakan. Di situ pointnya. Tapi untuk menciptakan sejarah masa depan, yaitu menentukan apa yang seharusnya terjadi dan dicatat di masa depan tidaklah semudah mengerjakannya, karena masa depan itu gelap, tidak pasti, dan tidak ada yang tahu pasti.
Maka merancang sejarah masa depan itu, seharusnya diprioritaskan maksimal, sebelum semuanya terjadi. Sebab, When you fail to plan, you plan to fail; kalau kamu gagal merencanakan, kamu merencanakan kegagalan. Dan itulah sepertinya yang terjadi pada NKRI ini. Negeri yang gagal merencanakan masa depannya dengan baik.
Apa yang terjadi di negeri ini, hampir-hampir tanpa perencanaan. Jelang 79 tahun merdeka, elit-elit negeri ini masih bekerja dengan pandangan jangka pendek dan reaktif, karena mungkin memang mengidap rabun jauh. Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi sama saja, gagal merencanakan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan adil untuk semua.
Akibatnya jelang 79 tahun merdeka, rakyat kita masih mengidap persoalan yang sama dengan saat menjelang jatuhnya Soekarno dan Soeharto: kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan penjajahan asing lewat komprador lokal. Apa yang terjadi adalah tindakan reaksioner sesaat, untuk menghadapi kekuatan lain, yang mengendalikan negeri ini.
Bukti sederhana untuk itu jelas. 10 tahun rezim Jokowi, sebagaimana data Tempo edisi khusus 28 Juli 2024, meninggalkan beban utang negara ribuan triliun, yang harus dibayar oleh rakyat. Proyek IKN yang penuh masalah, KCIC yang membebani rakyat dan sejumlah Proyek Strategis Nasional yang menyengsarakan rakyat, serta Omnibuslaw yang memporak-porandakan tatanan hukum dan sosial masyarakat. Sayangnya, itu masih juga digembar-gemborkan akan diteruskan oleh pemerintahan baru, dengan slogan keberlanjutan.
Tidakkah Kita Bisa Berpikir?
Atau memang tidak perlu elit negeri ini berpikir?, karena yang penting adalah kerja kerja kerja. Lalu pikiran siapa yang dikerjakan, kepentingan siapa yang diperjuangkan? Rakyat kah, keselamatan bangsa dan negarakah? Mengapa sepertinya, semua merasa tak berdaya menghadapi arus besar menuju ke penjajahan negeri ini oleh bangsa lain?
Fakta bahwa ketergantungan kita pada teknologi luar di berbagai bidang (otomotif, medis, Electronic, digital), pasar domestik dibanjiri produk impor, lemahnya kemampuan negeri menghasilkan pangan, merendahnya tingkat kecerdasan rata-rata masyarakat, dan ketergantungan ekspor bahan baku sumber daya alam, masih sangat keterlaluan. Tapi sayang, itu tidak menjadi bahan pemikiran mendalam bagi perancangan Indonesia masa depan.
Tanggal 17-18 Agustus 2024, hari ulang tahun kemerdekaan RI, tinggal 2 hari lagi. Maka seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh rakyat bergelora sibuk tarik tambang, panjat pinang dan makan kerupuk, sedangkan pemerintah sibuk berduyun-duyun ke IKN menghabiskan APBN. Adakah perayaan kemerdekaan mengajukan arti kedaulatan yang sesungguhnya sebagai suatu bangsa: kemerdekaan politik, kemerdekaan ekonomi, budaya, pendidikan; kemerdekaan teknologi, pangan, hukum, sosial berbangsa dan kemerdekaan menentukan nasib bangsa sendiri?. Sudahkah kemerdekaan identik dengan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat?
Arus Utama Ke Depan
Sejak awal jelas, arus sejarah Indonesia adalah dalam penguasaan bangsa lain. 350 tahun VOC dan Belanda mengeruk kekayaan alam, membuat kerja paksa yang menyengsarakan rakyat di negeri ini. Setelah kemerdekaan, beban utang biaya penjajahan menjerat leher elit negeri ini. Orde Baru menyerahkan negeri ini pula kepada konglomerat Taipan, dan itu berhimpitan dengan kepentingan RRT (proyek OBOR). Orde reformasi malah membablaskan konglomerat Taipan itu menguasai semuanya.
Akankah Indonesia ke depan menuju Singapura kedua, di mana rakyatnya tergerus dari lintasan arus utama pembangunan, dan menjadi warga kelas dua; persis seperti saat penjajahan Belanda, di mana warga di negeri ini menjadi warga kelas tiga, karena warga kelas satunya adalah Eropa.? Fa’tabiru ya ulil albab.