KENEGARAWANAN atau PRAGMATISME ?


Negarawan..?
Pastinya banyak tafsir yang kritis yang bisa kita produksi dari fakta itu. Pertama, itu pertanda bahwa SP seorang politisi yang siap kalah siap menang. Setelah sengit bertanding, kini siap bersanding. Betulkah seperti itu?

Tafsir sikap seperti itu menunjukkan SP mulia sekali. Padahal sikap itu bisa juga berarti pragmatisme tingkat dewa, yang tidak menghargai proses. Seperti diketahui bahwa saat ini proses gugatan Tim Hukum AMIN sudah berjalan di MK (diajukan tanggal 21 Maret 2024 dan rencana gugatan Paslon 03 tanggal 24 Maret 2024), yang keduanya menunjukkan bahwa penetapan pemenang pilpres 2024 ini belum final dan pemenangnya belum ada.
Lalu, mengapa SP bersikap seperti itu? Panggung itu kemudian diframing bahwa SP adalah seorang negarawan yang matang dalam berpolitik, yang lebih mementingkan keutuhan bangsa dengan menempuh kompromi-kompromi yang bersifat sinergik.
Framing seperti itu mudah dipatahkan; bahwa sejatinya jika ingin menyelamatkan bangsa bukanlah dengan mengabaikan proses gugatan antar paslon yang mengindikasikan banyaknya cacat kualitatif dan kuantitatif dalam penyelenggaraan pilpres, tetapi sebaliknya adalah mendorong dilaksanakannya hak angket untuk membuka kotak pandora pilpres, apakah curang atau jurdil.?
Proses hak angket lah yang seharusnya didorong oleh SP dan Nasdem untuk dijalankan secara berintegritas, bukan malah membuat manuver kompromi dan meninggalkan pengujian kecurangan dimaksud. Sebab jika kecurangan atau cacat proses pilpres diabaikan tanpa pengujian, maka ada potensi kejahatan penyelenggara negara yang dibiarkan menjadi dasar jalannya pemerintahan. Dan itu tentu saja berisiko buruk bagi tata kelola pemerintahan ke depan.
Risiko buruk itu berupa preseden bahwa berbuat curang adalah dimungkinkan sejauh tidak adanya deteksi dari pihak-pihak. Bahwa kecurangan yang disembunyikan tidak berbahaya asalkan tidak terbongkar.
Kedua, pertemuan SP dengan PS itu dapat dipahami bahwa SP memang lihai dan selalu terdepan dalam membuat gebrakan (breakthrough), yang dapat mengubah konstalasi kekuatan politik; termasuk dalam hal ini terdepan mengusung Anies-Muhaimin sebagai Capres Cawapres.
Tetapi analisis itu juga mudah dipatahkan, karena tindakan SP itu sangat terburu-buru, dan nyaris mendahului ketentuan Tuhan. Proses konfirmasi kemenangan oleh MK masih jauh, dan pengumuman KPU yang tanggal 20 Maret 2024 itu adalah pengumuman hasil rekapitulasi suara, dan bukan pengumuman pemenang. Ditambah lagi, bahwa sangat kasat mata dan faktual, bahwa penyelenggaraan pilpres oleh KPU dan Bawaslu diduga banyak menyalahi etika, pelanggaran konstitusi dan peraturan perundangan, serta mengandung penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim berkuasa. Artinya jika pengumuman real count KPU yang dijadikan dasar, sungguh itu suatu sikap pengabaian dan pembiaran potensi kecurangan atau kejahatan terjadi. Sungguh ini mengandung risiko yang sangat buruk.

Pragmatisme...!!
Ketiga, mungkin analisis yang paling mendekati perasaan masyarakat adalah bahwa peristiwa pertemuan SP dengan PS itu menunjukkan pragmatisme politik yang sangat kental, mengingat Nasdem masih menjadi Partai Koalisi Pemerintahan Jokowi; bahwa ketika suara AMIN diumumkan kalah oleh KPU, maka segera SP merapat kembali ke rezim yang sedang berkuasa atau tepatnya PS yang didukung oleh rezim.
Pragmatisme memang dapat dikatakan politik tanpa nilai, karena nilai-nilai idealismenya yang seharusnya menjadi pijakan, telah digantikan dengan kepentingan pragmatis, dengan mengabaikan proses pembuktian kecurangan yang masih berjalan.
Wallahu a'lam.